Selasa, 10 November 2009

Pahlawan? Tanda Jasa?

Pahlawan? Tanda Jasa?

pahlawan identik dengan seseorang yang ikhlas memperjuangkan sesuatu sampai mengrbankan dirinya. pahlawan orang biasa juga, tapi sungguh ia berbeda dari manusia biasa itu. walau bagaimanapun menyandang gelar pahlawan sangat berat dan tersisipi kebanggaan tersendiri untuk mengemban dan membuktikan bahwa legitimasi itu bukan hasil rekayasa atas baktinya.

secara sadar mungkin kita pernah melihat tayangan atau segala bentuk pemberitaan yang dilakukan oleh awak media menyiarkan tentang tindak keji seorang pahlawan. khususnya pahlawan tanpa tanda jasa! timbul pertanyaan dari sikap skeptis itu. masih ada pahlawan tanpa tanda jasa?
sandiwara kemunafikan?

tindakan asusila marak diberitakan oleh media massa. yaa mungkin inilah “balas jasa” yang menjadi pergeseran nilai yang dahulu benar-benar denotati tanpa balas jasa. sisi-sisi uang lun tidak kalah menarik untuk membalas “jasa” dari pahlawan tanpa tanda jasa itu.

namun, saya yakin bahwa silogisme dalam hal ini tidak mutlak terjadi. proses generalisir dari kasus ini tidak mutlak dipukul rata bagi semua pahlawan tanpa tanda jasa.

keyakinan itu mudah-mudahan ada yang membuktikannya.

“hanya guru sajakah pahlawan tanpa tanda jasa?”
pantomim-

Membangun Pendidikan Indonesia yang Beradab

Membangun Pendidikan Indonesia yang Beradab

Kabinet Indonesia Bersatu Jilid II telah resmi dilantik pada tanggal 20 Oktober 2009 kemarin. Besar harapan masyarakat terhadap susunan kabinet pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yodhoyono periode 2009-2014 ini, meskipun aroma berbagi kue kekuasaan dan ucapan terima kasih kental mewarnai opini publik. Toh, kontrak 100 Hari Pertama bisa dijadikan sebagai bukti bahwa Presiden Yudhoyono ingin membawa Indonesia ke arah yang lebih maju.
Belum genap 100 hari bekerja, sudah terjadi hal yang memalukan pada dunia pendidikan Indonesia. Adalah syuting film terbaru Julia Roberts, aktris kenamaan Hollywood, yang menjadi biangnya.Demi alasan kelancaran syuting, maka kegiatan belajar mengajar di SD Negeri 3 Unggasan, Unggasan, Bali, terpaksa dipindahkan terhitung sejak 25 Oktober 2009 hingga 30 Oktober 2009. Sepertinya memang sepele, tetapi inilah yang menjadi salah satu potret buram birokrasi pemerintahan di Indonesia.
Visi dan misi yang sudah mulia di awal perencanaan harus “dibelokkan” oleh kepentingan yang tidak jelas peruntukannya. Peristiwa tersebut tidak mungkin terjadi tanpa ada “restu” dari pihak pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan setempat. Jika dilihat dari sisi materi, bagaimana ingin membangun pendidikan yang beradab kalau pihak birokrat masih saja silau dengan uang sehingga menomorduakan kegiatan belajar mengajar? Bagaimana Presiden Yudhoyono ingin membangun pendidikan yang beradab, seperti cita-cita awal penunjukkan Muhammad Nuh sebagai Menteri Pendidikan Nasional, jika pendidikan dasarnya saja masih dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan segelintir orang?
sebagai Menteri Pendidikan Nasional, jika pendidikan dasarnya saja masih dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan segelintir orang?
Kita bisa mengutip kata Socrates, seorang filsuf, yang berkata
“Could I climb to the highest place in Athens, I would lift my voice and proclaim: 'Fellow citizens, why do you turn and scrape every stone to gather wealth, and take so little care of your children to whom one day you must relinquish it all'".
Inti dari perkataan kenamaan dunia tersebut adalah mengapa kita (pemerintah) terus mengumpulkan kekayaan dan kesejahteraan, sementara kita (pemerintah) sendiri memberikan perhatian yang sedikit kepada anak-anak yang kelak akan menjalankan apa yang akan kita serahkan kemudian hari. Hal ini bisa menjadi renungan untuk pemerintah jika ingin membuat pendidikan kita berkualitas berkualitas sehingga menghasilkan generasi penerus yang baik.
Kita bisa meniru semangat bangsa Korea Selatan. Negara yang porak-poranda karena perang berhasil bangkit dari keterpurukan hingga menjadi salah satu negara maju di dunia. Mereka berpegang bahwa pendidikan adalah investasi yang hasilnya akan diperoleh di kemudian hari. Hal inilah yang nampaknya belum melekat pada bangsa Indonesia. Tentu permasalahan ini tidak bisa diserahkan sepenuhnya kepada pemerintah semata.
Masyarakat juga harus bahu-membahu untuk membangun bangsa ini. Marilah kita bersama-sama ikut serta dalam memajukan dunia pendidikan Indonesia.


Hipokrit-

Diogenes

sosok yang paling terkenal di Kaum Sinis asuhan Antisthenes, murid Socrates. diogenes konon hidup dalam sebuah tong. ia hanya punya sebuah mantel, tongkat, dan kantung roti. maka tidak mudah mencuri kebahagiaan darinya.

suatu hari ketika sedang duduk di samping tongkatnya menikmati cahaya matahari, dia dikunjungi oleh Alexander Agung. sang maharaja berdiri di hadapannya dan bertanya “apakah saya dapat melakukan sesuatu untuk membantumu, Diogenes?” kemudian Diogenes menjawab,”ya, bergeserlah kesamping, Anda menghalangi matahari. dengan demikian Diogenes dapat membuktikan bahwa dia tidak kalah bahagia dan kaya dibanding pria agung di hadapannya. dia telah memiliki semua yang dinginkannya.

Kaum Sinis percaya bahwa orang tidak perlu memikirkan kesehatan diri mereka. bahkan penderitaan dan kematian tidak boleh mengganggu mereka. pun mereka tidak boleh membiarkan diri tersiksa karena memikirkan kesengsaraan orang lain.

kini istilah “sinis” dan “sinisme” berarti ketidakpercayaan yang mengandung cemooh pada ketulusan manusia, dan kedua istilah itu menunjukkan ketidakpekaan terhadap penderitaan orang lain. seperti kata Socrates yang juga dipakai sebagai motto aliran filsafat Sinis,
”Betapa banyak benda yang tidak diperlukan”
Jostein Gaarder, Dunia Sophie-

Partikularisme Solois

kepentingan pribadi diatas segala kepentingan umum. seperti itu mungkin yang dapat dikatakan jika berkaca apa yang terjadi di negeri ini. segalanya berbau kepentingan-politik. tidak hanya di ranah polotik secara generik saja kepentingan ada.

pergeseran komunitas, komunal menjadi solo adalah realita yang ada di masyarakat. dalam keluarga kecil yang terdiri dari suami-istri saja sampai pada tataran keluarga besar Indonesia. partisi yang menguatkan dirinya sendiri.

kasus korupsi yang terjadi di negeri ini. obrolan yang seharusnya menjadikan efek jera terhadap sang pelaku saat ini malah menjadi marak.
paham partikularisme solois memang ada pada diri masing-masing orang. itulah cara untuk bertahan hidup. kadang kita dihadapkan pada situasi yang benar-benar menjelmakan diri kita untuk benar-benar bertarung walau dengan sesama.

ketika pertunjukan solo dimulai secara perlahan yang lain akan tersingkirkan dan mati. sengaja dimatikan. mungkin saja satu jalan keluarnya adalah pemaparan hak-hak asasi secara gamblang dalam segala aspek. transparansi yang menjadi tonggak pemusnahan dekadensi moral bangsa.

merokok adalah hak seseorang. haruskah merenggut hak orang lain untuk menghirup udara bersih?
hipokrit-

Paradoks Realita dan Tradisi

apa lagi yang mau di bantah? kalau memang yang terjadi itu benar-benar terjadi? berbagai permasalahan di berbagai instansi menjadikan masyarakatnya sebagai kaum kerdil yang dianggap buta terhadap segala sesuatunya. tidak hanya terjadi pada institusi pemerintahan,realita tersebut terjadi pula pada institusi pencetak “orang-orang” pemerintahan, institusi pendidikan.

“...kalau mau ini harus kesana dulu, jangan lupa lampirkan bla..bla...bla...”

birokrasi memang memiliki kekuatan legalitas yang tinggi. namun, dengan kondisi seseorang atau bahkan puluhan juta orang yang ingin mendapatkan sesuatu harus terbentur masalah birokrasi yang tidak masuk akal! administrasi yang seharusnya dilakukan dengan mudah saat perkembangan teknologi kian memuncak, beberapa instansi pendidikan yang SEHARUSNYA telah berharmonisasi dengan teknologi itu malah jalan di tempat. kebiasaan yang telah dianggap sebagai pembenaran terhadap suatu masalah menjadikan tradisi yang mengikat. sangat. paradoks realita dan tradisi yang ada adalah:

masyarakat ini miskin atau dimiskinkan?
mahasiswa ini bodoh atau dibodohi?
segala sesuatu yang seharusnya mudah mengapa dipersulit?
“dalam kesulitan itu banyak pihak yang merasa tenang dan damai melakonkannya.”

pantomim-

Sandiwara Kemunafikan

Hipokrit dan pantomim
dua kata yang mungkin memiliki imajinasi untuk merubah dirinya masuk dalam makna apapun.
takdir keduanya untuk memiliki makna munafik dan sandiwara tanpa kata.
namun, sandiwara disini harus menggunakan kata.

sebuah media yang ditujukan pada khalayak umum untuk apapun.
apresiasi pada karya adalah sebuah kemajuan suatu bangsa.